TUGAS KULIAH MANAJEMEN PEMASARAN ERA REV. INDUSTRI 4 :
MAKALAH TENTANG PERUSAHAAN YANG SEMPAT TERPURUK LALU BANGKIT
KEMBALI DI INDONESIA
(PT. BLUE BIRD TBK)
Nama :
Muhamad Reza Syahputra
NPM :
15216049
Jenjang / Jurusan : S1/Manajemen
Dosen : Joko Utomo, SE., MMSI
Mata Kuliah :
Manajemen Pemasaran Era Rev. Industri 4
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2019
Kehadiran ojek dan taksi online telah membuat
kelabakan para pemain taksi konvensional. Tak sedikit perusahaan taksi yang
sudah tutup. Bagaimana cara PT Blue Bird Tbk keluar dari tekanan
Sigit Priawan Djokosoetono, Direktur PT Blue
Bird Tbk
“Jika
musuh terlalu kuat, jadikan ia sebagai sekutu atau kawan.” Salah satu siasat
perang China Kuno ala Sun Tzu ini kini dijalankan manajemen PT Blue Bird Tbk.
dalam menghadapi dahsyatnya persaingan dengan pelaku ojek dan taksi online yang
tiga tahun terakhir mengharu-birukan Indonesia. Setidaknya hal itu bisa dibaca
dari strategi bergandengan mesra dengan Go-Jek, pemain terbesar di bisnis
aplikasi ojek dan taksi online.
Kedua
perusahaan itu telah bersinergi meluncurkan fitur bersama: Go-Blue Bird, yang
memungkinkan konsumen memesan taksi si Burung Biru melalui aplikasi Go-Jek.
Sebelumnya, keduanya juga telah bekerjasama: sebagian armada taksi Blue Bird
disiapkan untuk mendukung aplikasi Go-Car sehingga pemesan Go-Car sangat
dimungkinkan dijemput taksi Blue Bird dengan tarif Go-Car.
Sebagian
orang mungkin masih ada yang menyayangkan mengapa Blue Bird sebagai raksasa
transportasi bersedia bermitra dengan Go-Jek, perusahaan kemarin sore yang
masih mencari bentuk dan belum ada bukti model bisnisnya akan menguntungkan
serta berkelanjutan dalam jangka panjang. Namun, manajemen Blue Bird tampaknya
yakin bahwa jalan kolaborasi merupakan pilihan tepat bila melihat konteks
persaingan saat ini.
Ya,
langkah kolaborasi itu dalam konteks persaingan mutakhir justru bisa dimengerti
sebagai siasat menghadapi lawan yang sangat kuat. Jadi, sikap itu lebih
realistis meskipun agak pahit ditelan. Faktanya memang cenderung sulit melawan
secara frontal gelombang perusahaan aplikasi seperti Go-Jek, Grab, dan Uber
karena kehadirannya sedang menjadi tren.
Dan
bukan cuma itu, ketiga pemain digital tersebut sungguh punya kekuatan yang tak
mudah dihadang. Pertama, mereka didukung modal yang sangat besar yang berani
membakar uang, bahkan hingga triliunan rupiah, dan siap rugi di tahun-tahun
awal untuk menyubsidi serta memberikan gimmick ke para mitra pengemudinya. Ini
berbeda dengan Blue Bird yang menjalankan model bisnis yang sudah mapan dan
mesti untung tiap tahun, tidak bisa mungkin sembarangan membakar uang.
Kedua,
mereka juga sedang menunggangi gelombang industri kreatif yang kalau dibatasi
justru pihak yang membatasi dikritik habis-habisan sebagaimana pernah diwacanakan
Pemerintah Indonesia yang dianggap tak mengikuti kemajuan modern. Ketiga,
gelombang animo konsumen sendiri memang makin deras berpaling ke aplikasi
online karena dipandang praktis dan murah.
Menimbang
hal itu, merupakan pilihan yang masuk akal bila manajemen Blue Bird kemudian
justru berkolaborasi dengan Go-Jek. Seperti siasat Sun Tzu, kalau lawan terlalu
kuat, jadikan ia sebagai kawan atau sekutu. Jangan dihadapi secara frontal
karena sama saja dengan harakiri.
Dalam
konteks kerjasama dengan Go-Jek, ada dua pola yang selama ini dijalankan Blue
Bird. Pertama, di dalam aplikasi Go-Jek disediakan sub-aplikasi Go-Blue Bird
yang memfasilitasi siapa pun konsumen yang ingin memesan taksi dengan tarif
Blue Bird (bukan tarif Go-Jek).
Yang
kedua, menjadikan taksi Blue Bird sebagai bagian dari layanan Go-Car milik Grup
Go-Jek. Jadi, konsumen yang memesan Go-Jek bisa saja menjumpai mobil yang
menjemputnya bukan mobil pribadi, melainkan taksi Blue Bird, tetapi dengan
tarif Go-Car (bukan tarif Blue Bird).
Potensi
bisnis yang bisa diperoleh dari kolaborasi itu boleh dibilang menguntungkan
Blue Bird. Si Burung Biru tidak akan kehilangan pasar/konsumen secara total
alias masih tetap bisa menikmati pasar meski dalam hal ini harus mau berbagi
pemasukan dengan Go-Jek. Tak hanya itu, tingkat utilisasi armada taksinya pun
akan menjadi lebih baik dan kalangan pengemudi masih bisa memperoleh
pendapatan.
Sejatinya,
kolaborasi dengan Go-Jek merupakan bagian dari strategi Blue Bird agar bisa
tetap eksis di era disrupsi yang belakangan ini mengubah lanskap bisnis. Pemain
taksi skala kecil di luar Blue Bird sudah banyak yang ambruk. Pemain yang masih
mampu bertahan mengalami penurunan pendapatan dan margin. “Seperti bisa dilihat
di laporan keuangan kami dua tahun terakhir, kinerjanya memang turun,” ungkap
Sigit Priawan Djokosoetono, Direktur Blue Bird.
Kinerja
PT Blue Bird Tbk. (BIRD) memang dalam tekanan. Hingga triwulan III/2017,
pendapatan turun 14,1% year on year menjadi Rp 3,1 triliun. Padahal, di periode
yang sama tahun sebelumnya, masih mampu meraup Rp 3,64 triliun. Beruntung, Blue
Bird memiliki sistem operasional yang cukup efisien dan basis pelanggan yang
loyal sehingga penurunan kinerja masih bisa dikendalikan. Laba juga masih
dikantongi.
Di
tengah hantaman pesaing seperti itu, Blue Bird punya tantangan yang berat.
Skala organisasinya cukup besar sehingga membuat perubahan tak semudah
dilakukan perusahaan kecil. Setidaknya ada 45 ribu pegawai dalam naungan si
Burung Biru, termasuk 35 ribu pengemudi. Blue Bird memiliki sekitar 35 ribu
armada yang tersebar di 18 kota Indonesia. Selama ini mereka selalu unggul bila
bersaing dengan sesama pemain transportasi. ”Tapi, kali ini bukan hal yang
mudah karena kami berhadapan dengan perusahaan aplikasi, suatu persaingan yang
baru bagi kami,” kata Sigit mengakui.
Di
tengah tekanan, kreativitas pun muncul. Selain berkolaborasi, diam-diam Blue
Bird juga mulai memperkuat lini bisnis digitalnya, khususnya dalam aspek
channelling. Ada sejumlah langkah penting yang sudah dilakukan. Salah satunya, membangun
kembali aplikasi pemesanan taksi berbasis digital milik sendiri, My Blue Bird,
sejak awal 2017.
Manajemen
Blue Bird menyadari ada segmen dari generasi sekarang, termasuk kalangan
milenial, yang lebih suka memesan taksi melalui aplikasi. Karena itu, mereka
pun menyempurnakan aplikasi lama yang mereka miliki dengan berbagai
pengembangan kekinian. My Blue Bird sejatinya merupakan penyempurnaan dari Blue
Bird Taxi Mobile Reservation yang sudah dioperasikan tahun 2011.
Aplikasi
My Blue Bird yang baru memberikan lebih banyak kemudahan dan kenyamanan
dibandingkan pemesanan melalui telepon atau mencegat taksi di jalan. “Pemesan
taksi memungkinkan mengetahui titik keberadaan taksi yang menjemput melalui
peta digital, rute perjalanan juga terlihat, bisa memperkirakan kapan taksi
akan datang, tracking call driver, termasuk perkiraan biaya perjalanannya,”
Sigit menjelaskan.
Dari
aplikasi My Blue Bird dimungkinkan pula memesan taksi untuk waktu tertentu ke
depan (bukan sekarang), misalnya untuk ke bandara esok hari. Penumpang pun bisa
memberi nilai langsung ke pelayanan pengemudi serta menerima bukti pembayaran
melalui surat elektronik. Contoh pengembangan lainnya, aplikasi My Blue Bird
kini juga sudah dilengkapi fitur Call Driver agar pelanggan bisa langsung menghubungi
pengemudi tanpa mesti telepon sentra panggilan terlebih dahulu untuk mengetahui
keberadaan armada –seperti pengemudi taksi online. Hanya saja, nomor ponsel
pelanggan tidak muncul di perangkat pengemudi di mobil demi menjaga privasi
tamu.
Menguatnya
gaya hidup digital di kalangan konsumen makin mendorong Blue Bird untuk all
out. Agar My Blue Bird cepat dikenal, Sigit dan jajarannya melakukan
serangkaian program untuk mendorong konsumen agar mau memesan taksi menggunakan
aplikasi ini. Contohnya, dibuat program promosi: konsumen yang memesan taksi
melalui aplikasi My Blue Bird akan diberi diskon biaya taksi dalam jumlah
rupiah tertentu. Jumlah diskonnya disesuaikan dengan program, jarak, dan
lokasi.
Manajemen
Blue Bird yakin seiring dengan sosialisasi yang intens, aplikasi yang bisa
diunduh dari AppStore ataupun Google Play ini akan makin banyak dikenal serta
digunakan pelanggan. Ini penting karena selama ini pilar utama order pemesanan
taksi si Burung Biru memang dari sentra panggilan (telepon) dan pola cegat di
jalan.
Namun,
kerjasama dengan Go-Jek dan pengembangan My Blue Bird tidak dirasa cukup oleh
manajemen Blue Bird. “Kerjasama dengan Go-Jek merupakan salah satu cara kami
mempermudah layanan pemesanan taksi ke konsumen. (Namun) Kami terus mengembangkan
strategi multichannel, bukan hanya dengan Go-Jek,” ungkap Sigit.
Contoh
konkret adalah promosi bekerjasama dengan Mastercard: bila pesan taksi via My
Blue Bird menggunakan Mastercard, hingga frekuensi tertentu, akan diikutkan
untuk nonton bola di Eropa, dsb. “Kami memang bisa memberi diskon tapi tak
boleh membuat tarif sendiri yang sangat murah karena di industri taksi, ini
semua diatur,” kata Sigit.
Selain
dengan program diskon, Blue Bird juga melakukan kerjasama sinergis dengan
pebisnis lain agar frekuensi penggunaan My Blue Bird meningkat. Contohnya,
kerjasama dengan McDonald's Indonesia. Kedua pihak sepakat pelanggan mereka
akan mendapatkan penawaran khusus bila mengakses aplikasi My Blue Bird atau
McDelivery online.
Pelanggan
Blue Bird yang memesan taksi via aplikasi My Blue Bird dengan tarif minimal Rp
100 ribu akan mendapatkan benefit yang dapat digunakan untuk memesan melalui
McDelivery online. Sebaliknya, pelanggan McDonald’s yang bertransaksi melalui
McDelivery online, baik web maupun aplikasi mobile, dengan nilai minimal Rp100
ribu, akan mendapatkan benefit yang dapat digunakan untuk memesan taksi melalui
aplikasi My Blue Bird.
Fitur
My Blue Bird terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Dari sisi pembayaran,
misalnya, bisa dilakukan secara tunai atau kredit dengan menggesekkan kartu
(cashless). Dalam hal ini, My Blue Bird bekerjasama dengan Mastercard untuk
pembayaran nontunai. Blue Bird pun sudah menerbitkan e-voucher untuk mengganti
pembayaran kartu kredit dengan elektronik.
Terobosan
lainnya: fasilitas Easy Ride dalam My Blue Bird yang diluncurkan tahun lalu.
Fasilitas ini bermanfaat bagi penumpang taksi yang naik secara mencegat di
jalan atau lokasi terdekat (on the spot, bukan order) tetapi ingin membayarnya
secara nontunai. Caranya: pelanggan cukup klik ikon Easy Ride dan memasukkan
nomor taksi di aplikasi My Blue Bird miliknya, lalu akan mendapatkan passcode
yang harus diinfokan ke pengemudi. Pelanggan tidak perlu memikirkan uang
kembalian, semua transaksi terintegrasi melalui aplikasi My Blue Bird. Di akhir
perjalanan, pelanggan akan menerima e-receipt melalui surel secara real-time.
Tentu
saja, peningkatan utilisasi taksi berbasis digital tak hanya dilakukan dengan
My Blue Bird ataupun channeling dengan Go-Jek. Sejumlah proyek kolaborasi
berbasis digital sudah dan akan dijalankan Blue Bird. Semua program itu
ditujukan untuk meningkatkan penjualan.
Contohnya,
kerjasama dengan Traveloka. Blue Bird menggandeng situs melancong ini sebagai
penyedia kendaraan transportasi premium bandara yang bisa dipesan via aplikasi
Traveloka. Dalam hal ini Blue Bird Group mendedikasikan taksi khusus Golden
Bird dan Big Bird. Fitur ini bisa dimanfaatkan pengguna yang hendak melakukan
perjalanan dari dan ke bandara sehingga tak perlu mengantre saat di bandara.
Di
luar langkah di atas, banyak yang tak tahu, Blue Bird pun memanfaatkan basis
pelanggan di kalangan korporat besar, khususnya mereka yang biasa menyewa mobil
dalam jumlah banyak untuk kepentingan transportasi karyawan. Di sini, si Burung
Biru memperbarui aplikasi layanan B2B ini dengan membuat interface dan fitur
tersendiri untuk memudahkan pelanggan korporat tersebut dalam menjaga
optimalisasi penggunaan armada mobil. Menurut Sigit, pelanggan korporat seperti
ini relatif tak terkena imbas ojek online karena mementingkan kualitas layanan
yang selama ini diberikan Blue Bird.
Melihat
langkah yang ada, muncul pertanyaan: bagaimana Blue Bird melakukan itu semua?
Sigit
menjelaskan bahwa pihaknya bisa melakukan berbagai penyesuaian di bidang
teknologi karena sudah memperkuat sistem TI internalnya. Berbagai aplikasi
telah diterapkan dalam proses bisnis, termasuk core system-nya yang telah
diperkuat SAP. Dari sisi SDM TI, mereka juga terus mengejar kemajuan dengan
menambah tenaga ahli bidang tech business agar bisa menelurkan ide-ide aplikasi
layanan baru.
Bisa
dimaklumi jika mereka berinovasi semacam itu. Bagi Blue Bird, sangatlah penting
membuat pendapatan bisnis taksi reguler tetap bagus karena selama ini
menyumbang 75% pendapatannya. Menariknya, perlahan-lahan langkah penetrasi di
ranah digital pun mulai menunjukkan hal positif.
Aplikasi
My Blue Bird, misalnya, sudah diunduh sekitar 1,5 juta pengguna. Hal ini
otomatis menambah jumlah booking. Lalu, kolaborasi dengan sejumlah mitra, yakni
Go-Jek, Traveloka, McDonald's, dan Mastercard, pun mulai menunjukkan hasil.
Misalnya, dihitung dari kolaborasi dengan Go-Jek: katakankan ada 8.000 taksi
Blue Bird yang per hari beroperasi dengan platform Go-Jek dan tiap hari
rata-rata menghasilkan pemasukan Rp 200 ribu per pengemudi, maka dari
kolaborasi bisnis dengan Gojek ini saja dalam setahun (365 hari) bisa
menghasilkan pendapatan Rp 584 miliar. Ini dengan asumsi –sekali lagi asumsi–
pengemudi yang memperoleh penumpang dari Go-Jek rata-rata hanya mendapat argo
Rp 200 ribu.
Tentu
saja, ini belum digabungkan dengan pendapatan dari penetrasi digital lain
seperti kolaborasi dengan Traveloka dan kanal-kanal B2B lainnya. Bisa
dimengerti ketika ditanya berapa persen jumlah order yang saat ini datang dari
ranah digital, Sigit menginformasikan, “Sudah di atas 20%.” Hingga kuartal
III/2017, pendapatan yang dikantongi mencapai Rp 3,13 triliun dan memberikan
laba bersih Rp 302,12 miliar.
Asnan
Furinto, pakar manajemen dan dosen Manajemen Strategis Universitas Bina
Nusantara, memberikan catatan penting agar Blue Bird lebih waspada terhadap
persaingannya dengan kalangan ojek online. “Mereka saat ini masih mungkin
memang pada tahap bakar duit, tetapi laba bukan satu-satunya ukuran bagi
investor atau pemodal ventura untuk mendanai perusahaan rintisan digital. Di
era sekarang, yang jadi alternatif ukuran adalah potensi pertumbuhan perusahaan
melalui penguasaan data pelanggan, customer analytics, yang valuasinya bisa
jadi sangat tinggi,” Asnan menandaskan.
Dia
lalu menganalisis, bermodal pengalaman operasionalnya yang mampu bertahan di
era digital saat ini --di mana banyak perusahaan taksi konvensional gulung
tikar atau berkurang drastis jumlah armadanya-- Blue Bird akan terus bisa eksis
berbekal reputasi dan ekuitas mereknya yang sangat tinggi di kota-kota besar
Indonesia. Hanya saja, dia menengarai si Burung Biru masih setengah hati dalam
mengadopsi teknologi digital ke dalam strategi bisnisnya. “Teknologi digital
masih diposisikan sebagai komplementer, pelengkap dari strategi konvensional
yang selama ini sudah dimiliki. Harusnya bisa lebih jauh, pada integrasi aspek
online dan offline,” katanya.
Alhasil,
Blue Bird disarankan Asnan untuk berinovasi dengan membuat sistem
mileage/frequent commuter bagi penumpangnya, seperti sudah lazim di industri
penerbangan. Lalu, membangun platform pembayaran, katakanlah namanya Blue Bird
Pay (seperti Go-Pay milik Go-Jek) yang bisa digunakan untuk membayar transaksi
di gerbang tol atau untuk berbelanja di berbagai merchant. “Intinya, mengadopsi
aspek digital secara paripurna, tidak bisa lagi setengah-setengah hanya
digitalisasi pada sistem pemesanan/booking,” dia menandaskan.
Catatan
Asnan kiranya masuk akal. Dan, boleh jadi sudah masuk dalam rencana Blue Bird.
Yang pasti, sejauh ini raksasa taksi konvensional itu sudah menunjukkan
keluwesannya menghadapi medan persaingan dan disrupsi yang begitu besar.
Keluwesan ini kiranya menjadi modal penting untuk keberlanjutan usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar