UNIVERSITAS
GUNADARMA
ETIKA
BISNIS
KELOMPOK
1
MAKALAH
IMMORAL MANAJEMEN
DI
INDONESIA
DISUSUN
OLEH :
M.
REZA SYAHPUTRA
ARRI
SETIAWAN
REZKY
RAMADHAN
PRAYOGO
AJI PRATAMA
RIFKA
ADITYA RAHARJA
-3EA31-
1.
Subjek
dan Objek
Objek dari kasus tersebut adalah : Wilayah pemukiman
warga terkena semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo
Subjek dari kasus tersebut adalah : PT. Lapindo
Brantas Inc.
2.
Permasalahan
Banjir lumpur panas
Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo (Lula) atau Lumpur
Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, sejak tanggal 29
Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan
tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan
di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Ada yang mengatakan
bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006
dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara.
Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari
2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur
tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) untuk mencapai
formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor
(casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk
mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan
kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung.
Diperkirakan bahwa
Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pengeboran ini dengan membuat
prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan
zona pengeboran mereka di zona Rembang dengan target pengeborannya adalah
formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi
Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh
target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama
mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih
berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari
formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi
dengan pompa lumpur Lapindo (Medici).
Setelah kedalaman 9.297
kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi
Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu
gamping formasi Klitik sangat porous (berlubang-lubang). Akibatnya lumpur yang
digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu
gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo
kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya
lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar
(terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong.
Sesuai prosedur standar, operasi pengeboran dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pengeboran
berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang
terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah telanjur naik ke atas sampai ke
batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8
inci. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil
dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa
sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas
melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi
bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu
melewati rekahan alami tadi dan berhasil. Inilah mengapa surface blowout
terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu
sendiri.[butuh rujukan] Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan
pengeboran migas di Indonesia setiap tindakan harus seizin BPMIGAS, semua
dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BPMIGAS.
Dalam AAPG 2008
International Conference and Exhibition dilaksanakan di Cape Town International
Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan
kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum
Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan
pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa Bantul 2006 sebagai
penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pengeboran sebagai
penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran
sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa
mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007
juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran.
Semburan lumpur ini
membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak
Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat
maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.
Berikut adalah kerugian
– kerugian yang harus diterima oleh rakyat sekitar :
- Lumpur
menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa
dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat
untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi
sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan
lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong,
Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari
8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah
terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
- Lahan
dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain:
lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan
padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul,
Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2
sapi dan 7 ekor kijang.
- Sekitar
30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena
dampak lumpur ini.
- Empat
kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak
bekerja.
- Tidak
berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya
sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
- Rumah/tempat
tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit.
Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428,
Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
- Kerusakan
lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
- Pihak
Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku
telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat
penanggulangan lumpur.
- Akibat
amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM
Surabaya patah
- Meledaknya
pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan
sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam[4].
- Ditutupnya
ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan
mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui
Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
- Tak
kurang 600 hektare lahan terendam.
- Sebuah
SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik PT PLN dan seluruh jaringan
telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak
dapat difungsikan.
3.
Analisis
Kesimpulan
Dari uraian
permasalahan yang telah kami paparkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
* Semburan
lumpur Lapindo terjadi karena ada beberapa aspek yang belum tentu kepastiannya
yang benar sebagai akibat munculnya lumpur. Dan ini akan mengakibatkan tidak
akan cepat terselesaikannya pada kasus lumpur dan dengan siapa yang akan menanggung
jawabkannya pun tidak ad.
* Kesejahteraan
rakyat korban lumpur Lapindo Brantas masih belum terpenuhi, baik kesejahteraan
kehidupan pada umumnya seperti, basic human rights (hak asasi manusia),hak
untuk memiliki (properti rights) telah terampas ketika penduduk harus
meninggalkan rumah dan harta benda, hak untuk memiliki kebebasan (liberty)
mencari nafkah telah ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja
karena lahan terendam , pabrik tenggelam dan bangkrut terkena semburan lumpur,
hak hidup (rights to life) telahterampas dengan jatuhnya korban.
* Pemerintah
belum bisa berhasil memfungsikan hukum sebagai alat desak pertanggungjawaban atas bencana lumpur panas
Lapindo Brantas. Pemerintah pusat dan daerah sudah bekerja untuk mengatasi
masalah lumpur Lapindo ini pada tanggal 26 September 2011, pemerintah kembali
memberi perhatian terhadap penanganan luapan lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur,
dengan membahasnya dalam rapat kabinet.
Saran
:
1. Perlu
dibuat lembaga pengawas independen, yang bertugas mengawasi pelaksanaan setiap
aktivitas bisnis yang dapat menimbulkan pelanggaran
2. Pemerintah
harus konsisten dalam penegakan sanksi dari setiap pelanggaran yang terjadi
3. Aturan
- aturan yang terkait dalam standar teknis pengeboran minyak dan gas,
harusdiatur lebih jelas untuk melindung hak - hak masyarakat dan mencega
terjadinya pelanggaran seperti yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc.
4.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar